Minggu, 30 Mei 2010

Menggeliat di Antara Gedung Bertingkat













Foto & Naskah: Feri Latief



Hamparan hijau itu terbentuk dari sederetan tanaman selada, bayam, kangkung dan lainnya. Sungguh menyejukkan mata.
Hanya saja, jangan lantas
membayangkan suasana di
pedesaan. Ini sepenggal lahan yang terbentang di antara
keriuhan belantara beton
Jakarta, yang lebih sering
tampak angkuh.

Sejumlah lahan tidur milik Pemda DKI itu kini tak lagi gersang. Puluhan orang, yang datang dari luar Jakarta, telah me¬manfaatkannya untuk bercocok tanam. Sedikitnya di wilayah Jakarta Timur saja ada tiga titik lokasi yang dijadikan lahan pertanian, yakni kawasan Pedongkelan, Jalan Pramuka dan sekitar Bejana Tirta – tepat di belakang kantor Bea Cukai. Mereka yang menggarap lahan di kawasan perempatan Jalan Pramuka kebanyakan berasal dari daerah Bogor; sedangkan yang di daerah Pedongkelan digarap oleh sejumlah petani dari Cirebon, Indramayu dan Ngawi.

Salah seorang penggarap, Andi (58), mengutarakan bahwa setiap bulan¬nya rata-rata penghasilan para petani berkisar Rp 500.000 hingga Rp 750.000. Untuk penghasilan tambahan, dia men¬gaku masih punya sawah di desa asalnya di Bogor. Makanya, setiap musim tanam padi ia akan pulang ke Bogor mengurusi sawah-sawahnya, dan selebihnya dia mengurusi kebun sayurnya di perempatan Pramuka itu.

Tanaman sayuran yang ditanam di anta¬ranya adalah kangkung, sawi hijau, sela¬da, kenikir, kemangi dan bayam. Mereka menggunakan pupuk organik dan urea untuk membantu menyuburkannya. Un¬tuk pengairan, mereka mengandalkan air tanah yang disedot dengan mesin pompa listrik. Air kemudian ditampung di kolam-kolam kecil yang tersebar di beberapa titik pada lahan yang digarap. Dari kolam itu air diangkut dengan sebor ( ember khusus untuk menyirami tanaman).
Pengadaan air yang menggunakan tenaga listrik itulah yang menjadi pengeluaran terbesar para petani. Mereka harus merogoh kocek hingga sekitar Rp 800.000 per bulan untuk keperluan pembayaran rekening listrik.

Hasil panen biasanya mereka pasok ke beberapa pasar seperti pasar Senen, Pedongkelan dan Klender. Ada pula yang sebelum dipanen sudah dipesan. Konsumen seperti ini biasanya para pengusaha kecil yang menjual pecel lele atau asinan. Mereka menggunakan sistem ijon, dengan membayar di muka walau hasil kebun belum ditanam atau dipanen. Dengan sistem ijon ini petani mendapatkan modal untuk bercocok tanam. Nilai lebih dari sistem ini adalah konsumen punya kepastian akan stok sayur, dan yang pasti lebih segar. Kalau mengandalkan stok sayuran di pasar, mereka sering tidak kebagian dan kadang malah mendapatkan yang kurang segar.

Tidak semua penggarap di kebun-kebun metropolitan itu berlatar belakang tani. Contohnya, Yadi (27). Pemuda asal Indra¬mayu ini beralih menjadi petani setelah usaha dagangnya gulung tikar.
Daripada menganggur dan menjadi be¬ban orang lain, akhirnya dia geluti usaha tani ini. Yadi baru dua tahun bergabung dengan rekan-rekannya yang berasal dari daerah Ngawi, Jawa Timur. Sementara yang lainnya, seperti Pak Andi, sudah sepuluh tahun membudidayakan lahan tidur tersebut.

Ada semacam perjanjian antara para petani dan pemilik tanah; apabila tanah itu akan digunakan pemiliknya, mereka harus angkat kaki dengan sukarela. Ba¬gaimana nasib mereka selanjutnya? Mer¬eka hanya bisa menggelengkan kepala. Padahal, banyak di antara mereka yang sudah memboyong anak dan istrinya dari kampung halaman untuk menetap di tanah garapan.

Di dalam gubuk-gubuk sangat sederhana yang mereka bangun, di antara gedung-gedung bertingkat di sekelilingnya, mereka bernaung dari terik mentari dan dinginnya hujan. Bagaimanapun, mereka harus tetap bertahan agar kehidupan terus berlangsung, jauh dari hiruk-pikuk korupsi, kolusi dan nepotisme


Dimuat dalam e-magazine Exposure pada tahun 2008 di rubrik Essay

Tidak ada komentar:

Posting Komentar